Selasa, 14 Mei 2013

SYAHWAT POLITIK-POLITIK SYAHWAT

"Dunia politik adalah dunia yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Bila politik berkaitan dengan seni merebut dan mengelola kekuasaan, maka kekuasaan merupakan cara untuk tetap eksis dalam dunia politik. Tanpa kekuasaan, politik ibarat sayur tanpa garam dan bumbu penyedap. Sangat hambar dan tidak enak."





DALAM perspektif budaya, politik merupakan gelanggang pertarungan antarkekuatan yang cenderung menghalalkan segala cara dan mengabaikan nilai-nilai moral yang ada. Dari masa awal perpolitikan di Nusantara, kita menyaksikan, misalnya, pertumpahan darah terjadi di kerajaan Singosari maupun di Mataram Islam.
Pertumpahan darah, perseteruan antar iklan, hingga perebutan tahta dalam kerajaan di Nusantara merupakan contoh-contoh klasik yang sering kali diungkapkan dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah. Celakanya, dari sejarah tersebut kita hanya mampu menangkap fakta-fakta yang terjadi di permukaan saja. Kita belum mampu mencerna mengapa hal tersebut terjadi dan mengambil “pelajaran” dari kejadian tersebut.
Ketika Indonesia merdeka, bangsa kita belum juga mampu melepaskan dirinya dari perilaku para punggawa kerajaan yang cenderung destruktif tersebut. Bahkan semakin parah sebab perilaku destruktif tidak hanya diamini oleh para penguasa saja, tapi telah menjalar hingga lapisan terbawah masyarakat kita.

Ironi Politik

Dunia politik adalah dunia yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Bila politik berkaitan dengan seni merebut dan mengelola kekuasaan, maka kekuasaan merupakan cara untuk tetap eksis dalam dunia politik. Tanpa kekuasaan, politik ibarat sayur tanpa garam dan bumbu penyedap. Sangat hambar dan tidak enak. Dengan demikian, kita sangat memaklumi bila para politisi selalu berbondong-bondong mendirikan partai politik baru setiap kali ada pendaftaran partai untuk menjadi kontestan pemilihan umum (pemilu) lima tahunan. Melalui pemilu inilah syahwat kekuasaan para politisi mendapatkan jalan untuk disalurkan.
Namun, ironi selalu terjadi di mana-mana. Demikian juga dalam politik. Politik kita yang berbasis demokrasi Pancasila ternyata belum mampu mengendalikan syahwat partai politik dan para politisinya. Bukan omong kosong atau gosip lagi bila kita mendengar adanya penggelembungan suara salah satu kontestan dan pengurangan suara kontestan yang lain. Tujuannya adalah berkuasa tanpa harus bersusah payah mendapatkan dukungan rakyat. Tentu saja untuk itu ada harga yang harus dibayar. Maka politik uang (money politics) merupakan saluran yang dipilih untuk bercokol dalam kekuasaan.
Ironi berikutnya terjadi ketika kekuasaan telah dalam genggaman. Para politisi tersebut dengan cepat melupakan rakyat yang (tidak) memilihnya tersebut. Mereka begitu asyik dengan dirinya sendiri, kelompoknya, dan partainya. Agak sulit jadinya menempatkan posisi rakyat dalam hati para politisi tersebut. Makanya tidak aneh ketika satu politisi berbicara atas nama rakyat, politisi yang lain bersuara lantang: “Rakyat yang mana?” Pertanyaan tersebut muncul sebab mereka sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa memang tidak ada rakyat yang mereka wakili.
Politisi kita juga sering menyakiti hati rakyat. Mereka sering mengumbar janji, tapi tak ditepati. Mereka juga berbuat sesukanya, padahal hati rakyat terlukai.
Nafsu mengumbar syahwat kekuasaan para politisi akhirnya mencapai klimaksnya ketika mereka sudah mulai mengabaikan rakyat dan aspirasi rakyat. Mereka lebih senang pelesiran ke luar negeri dari pada pergi ke pelosok Nusantara yang elok rupawan. Atau lebih senang memiliki gedung yang berbiaya Rp 1,2 triliun dari pada membangunkan rumah-rumah susun untuk rakyatnya yang masih kekurangan tempat tinggal yang layak huni.
Carut marut politik kita tersebut merupakan gambaran betapa politik kita adalah politik yang minus keteladanan. Politisi kita mungkin lupa bahwa masyarakat kita adalah masyarakat patrilineal yang masih menganggap bahwa pemimpin adalah anutan yang harus selalu diikuti dan ditiru.
Tanpa hadirnya keteladanan dari politisi, maka carut marut panggung politik akan semakin meriah dan penuh dengan intrik dan fitnah. Intrik dan fitnah tersebut kemudian akan melebar dan menjadi anutan negatif bagi masyarakat. Jadi, jangan aneh jika masyarakat kita sudah mulai alergi dengan musyawarah dan cenderung curiga dengan orang lain, karena memang hal itulah yang mereka tiru dari pemimpin mereka.
Politik sudah semestinya mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, karena memang sejatinya di sanalah esensi perpolitikan. Politik tidak hanya berhenti di kekuasaan belaka, tapi harus diupayakan membawa kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Tanpa itu semua, politik hanya akan menjadi buldoser yang akan menggilas semua yang tidak sejalan dan meluluhlantakkan semua yang dilewatinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar