Selasa, 21 Mei 2013

KOMUNIKASI TATAP MUKA, DI ERA "TEKNOLOGI PEMBUNGKAM KOMUNIKASI"


Begitu banyak program "massanger" bermunculan di era saat ini, sosial media dengan berbagai macam fungsinya seolah menggantikan komunikasi tatapmuka. Semua program tersebut di buat dan dikembangkan untuk memperluas komunikasi sehingga tanpa batas.., Namun dengan kecanggihan tekhnologi saat ini, faktanya penggunaan tekhnologi seolah menjadi "pembungkam komunikasi" 



Pesan vs Komunikasi Utuh
Personal assistant dari seorang eksekutif, yang sudah terbiasa berkomunikasi dengan gadget terkini, suatu saat mengatakan bahwa ia mengalami gejala aneh. Seringkali, secara tiba-tiba, ia tidak bisa berpikir. Setelah berdiskusi, ia menemukan bahwa interaksi melalui pesan teks membuatnya kelelahan.
Tidak seperti pembicaraan telepon ataupun tatap muka, pesan SMS tidak dengan mudah dimengerti. Pesan ketik memang efisien, tetapi membutuhkan imajinasi tinggi, apalagi bila harus diterjemahkan ke dalam tindakan yang melibatkan beberapa hal lain. Katakan saja pesan: ”Mulai hari ini, driver A saya pindah tugaskan ke rumah”.
Bila kita ingin melakukan pekerjaan yang bermutu, pesan sesingkat ini perlu diterjemahkan secara komprehensif. Kita perlu bertanya lengkap: When, where, who, dan why-nya, sehingga how-nya terlaksana dengan tepat. Komunikasi tatap muka jelas lebih memudahkan tanya jawab, tidak saja melalui kata-kata, tetapi juga tarikan nafas, ekspresi muka, gerak-gerik, bahkan juga transaksi emosi.

Organisasi yang menghadapi tantangan untuk internalisasi budaya, juga melakukan manajemen perubahan, bisa merasakan benar betapa komunikasi tatap muka tidak tergantikan. Bayangkan betapa sulitnya kita menyentuh rasa dan emosi orang untuk berubah, bila dilakukan secara jarak jauh, bahkan dengan teknologi tercanggih sekali pun.
Ini juga alasannya, mengapa para direksi sebuah bank tetap berkeras mengembangkan taskforce dan menggerakkan semua manajemen atas, terbang ke seluruh cabang, untuk mengkomunikasikan pesan yang sama, dalam waktu sangat singkat. Banyak keputusan, persuasi strategik, lobi di dalam kegiatan organisasi dan politik yang membutuhkan konteks dan ekspresi emosi secara bersamaaan, tidak bisa diketik. Retorika tidak bisa diketik. “There is more to communication than the message”.

Ciptakan "platform" pribadi
Perusahaan yang semakin banyak memanfaatkan komunikasi elektronik, akan bisa merasakan betapa frekuensi rapat menjadi berkurang. Banyak yang bahkan merasa rapat tidak perlu lagi. Hal ini perlu diwaspadai, mengingat orang tetap perlu menyatukan spirit untuk mengambil keputusan.
Terkadang, kita juga perlu saling menguatkan emosi untuk mengambil risiko. Kita juga banyak membutuhkan tanya jawab instan untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Saya jadi teringat tulisan arsitek Christopher Alexander, di tahun 1977, bahwa interaksi yang paling intensif terjadi bila orang saling menyentuh. Inilah perekat paling efektif di masyarakat dan organisasi.

Dengan tersedianya segala macam fasilitas komunikasi, tidak berarti kita tidak perlu menyusun taktik berkomunikasi. Kitalah yang perlu memilih dan menentukan waktu berkomunikasi. Kita yang perlu bisa memutuskan untuk mengubah telepon ke mode “silent” pada waktu “me time” ataupun waktu berinteraksi dengan keluarga.
Penundaan komunikasi masih bisa ditanggulangi, dengan tetap memberikan servis 24/7. Kitalah yang perlu juga menentukan kapan mau bertatap muka dan mengembangkan hubungan yang lebih natural dan kaya. Hal yang justru sangat penting dan tidak boleh tertinggal adalah sasaran kita dalam berkomunikasi, bukan interaksinya, tetapi produktivitas.

Selasa, 14 Mei 2013

ALIRAN DANA FATHANAH BUKAN HANYA KE PKS, KECEPLOSAN APA PENGAKUAN ??


Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah dengan setia mendampingi Presiden PKS Anis Matta ketika diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, sebagai anggota DPR, Fahri mestinya menghadiri Rapat Paripurna DPR yang beragenda pembukaan masa persidangan IV.

Fahri terpantau sudah berada di KPK pada Senin (13/5), sejak pukul 10.00 WIB atau tepatnya sejak Anis Matta tiba di gedung KPK. Sesekali, Fahri diwawancarai oleh beberapa wartawan.

Saat siang hari, Wakil Sekretaris Jenderal PKS itu, sempat memasuki ruangan wartawan di Gedung KPK. Ia mengamati setiap aktivitas yang dilakukan wartawan dan mencermati jadwal pemeriksaan KPK yang ditempel di dinding. Tidak selang beberapa lama, satuan pengamanan (satpam) KPK mengusir Fahri.

Saat diwawancarai, Fahri mengaku memiliki bukti yang kuat untuk melaporkan KPK ke Mabes Polri karena dalam penyitaan aset PKS tidak mematuhi aturan yang diatur dalam KUHAP.

"Ada video dan foto rekonstruksi penyidik yang datang. KPK tidak bergantung pada KUHAP padahal standar prosedurnya mengakomodasi KUHAP sehingga biar Polri yang memerika langkah KPK itu," kata Fahri.

Dia menjelaskan, mestinya jika ingin menyita harus memperkenalkan diri, menyerahkan surat perintah penyitaan dan harus bertemu dengan yang bersangkutan atau pengacaranya. "Bayangkan, yang dibawa KPK bukan surat sita melainkan surat undangan pemeriksaan Hilmi Aminuddin dan Anis Matta."

Mantan anggota Komisi III DPR itu juga menyinggung Ahmad Fathanah sebagai makelar banyak pihak. "Saya tantang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk umumkan aliran dananya ke mana saja. Saya yakin bukan hanya PKS," ujarnya.

Akhirnya, Anis Matta usai menjalani pemeriksaan pukul 17.00 WIB dan meninggalkan gedung KPK, begitu juga dengan Fahri Hamzah.

EDITED BY: JAMILONLINE

SYAHWAT POLITIK-POLITIK SYAHWAT

"Dunia politik adalah dunia yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Bila politik berkaitan dengan seni merebut dan mengelola kekuasaan, maka kekuasaan merupakan cara untuk tetap eksis dalam dunia politik. Tanpa kekuasaan, politik ibarat sayur tanpa garam dan bumbu penyedap. Sangat hambar dan tidak enak."





DALAM perspektif budaya, politik merupakan gelanggang pertarungan antarkekuatan yang cenderung menghalalkan segala cara dan mengabaikan nilai-nilai moral yang ada. Dari masa awal perpolitikan di Nusantara, kita menyaksikan, misalnya, pertumpahan darah terjadi di kerajaan Singosari maupun di Mataram Islam.
Pertumpahan darah, perseteruan antar iklan, hingga perebutan tahta dalam kerajaan di Nusantara merupakan contoh-contoh klasik yang sering kali diungkapkan dalam pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah. Celakanya, dari sejarah tersebut kita hanya mampu menangkap fakta-fakta yang terjadi di permukaan saja. Kita belum mampu mencerna mengapa hal tersebut terjadi dan mengambil “pelajaran” dari kejadian tersebut.
Ketika Indonesia merdeka, bangsa kita belum juga mampu melepaskan dirinya dari perilaku para punggawa kerajaan yang cenderung destruktif tersebut. Bahkan semakin parah sebab perilaku destruktif tidak hanya diamini oleh para penguasa saja, tapi telah menjalar hingga lapisan terbawah masyarakat kita.

Ironi Politik

Dunia politik adalah dunia yang erat kaitannya dengan kekuasaan. Bila politik berkaitan dengan seni merebut dan mengelola kekuasaan, maka kekuasaan merupakan cara untuk tetap eksis dalam dunia politik. Tanpa kekuasaan, politik ibarat sayur tanpa garam dan bumbu penyedap. Sangat hambar dan tidak enak. Dengan demikian, kita sangat memaklumi bila para politisi selalu berbondong-bondong mendirikan partai politik baru setiap kali ada pendaftaran partai untuk menjadi kontestan pemilihan umum (pemilu) lima tahunan. Melalui pemilu inilah syahwat kekuasaan para politisi mendapatkan jalan untuk disalurkan.
Namun, ironi selalu terjadi di mana-mana. Demikian juga dalam politik. Politik kita yang berbasis demokrasi Pancasila ternyata belum mampu mengendalikan syahwat partai politik dan para politisinya. Bukan omong kosong atau gosip lagi bila kita mendengar adanya penggelembungan suara salah satu kontestan dan pengurangan suara kontestan yang lain. Tujuannya adalah berkuasa tanpa harus bersusah payah mendapatkan dukungan rakyat. Tentu saja untuk itu ada harga yang harus dibayar. Maka politik uang (money politics) merupakan saluran yang dipilih untuk bercokol dalam kekuasaan.
Ironi berikutnya terjadi ketika kekuasaan telah dalam genggaman. Para politisi tersebut dengan cepat melupakan rakyat yang (tidak) memilihnya tersebut. Mereka begitu asyik dengan dirinya sendiri, kelompoknya, dan partainya. Agak sulit jadinya menempatkan posisi rakyat dalam hati para politisi tersebut. Makanya tidak aneh ketika satu politisi berbicara atas nama rakyat, politisi yang lain bersuara lantang: “Rakyat yang mana?” Pertanyaan tersebut muncul sebab mereka sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa memang tidak ada rakyat yang mereka wakili.
Politisi kita juga sering menyakiti hati rakyat. Mereka sering mengumbar janji, tapi tak ditepati. Mereka juga berbuat sesukanya, padahal hati rakyat terlukai.
Nafsu mengumbar syahwat kekuasaan para politisi akhirnya mencapai klimaksnya ketika mereka sudah mulai mengabaikan rakyat dan aspirasi rakyat. Mereka lebih senang pelesiran ke luar negeri dari pada pergi ke pelosok Nusantara yang elok rupawan. Atau lebih senang memiliki gedung yang berbiaya Rp 1,2 triliun dari pada membangunkan rumah-rumah susun untuk rakyatnya yang masih kekurangan tempat tinggal yang layak huni.
Carut marut politik kita tersebut merupakan gambaran betapa politik kita adalah politik yang minus keteladanan. Politisi kita mungkin lupa bahwa masyarakat kita adalah masyarakat patrilineal yang masih menganggap bahwa pemimpin adalah anutan yang harus selalu diikuti dan ditiru.
Tanpa hadirnya keteladanan dari politisi, maka carut marut panggung politik akan semakin meriah dan penuh dengan intrik dan fitnah. Intrik dan fitnah tersebut kemudian akan melebar dan menjadi anutan negatif bagi masyarakat. Jadi, jangan aneh jika masyarakat kita sudah mulai alergi dengan musyawarah dan cenderung curiga dengan orang lain, karena memang hal itulah yang mereka tiru dari pemimpin mereka.
Politik sudah semestinya mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, karena memang sejatinya di sanalah esensi perpolitikan. Politik tidak hanya berhenti di kekuasaan belaka, tapi harus diupayakan membawa kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya. Tanpa itu semua, politik hanya akan menjadi buldoser yang akan menggilas semua yang tidak sejalan dan meluluhlantakkan semua yang dilewatinya